Pages

Senin, 13 Oktober 2014

Pendiri Facebook Mark Zuckerberg Ada di Indonesia

Pendiri Facebook Mark Zuckerberg tiba di Indonesia dan mengunggah foto dari puncak Candi Borobudur pada Minggu (12/10) di fan page Facebooknya.
Mark Zuckerberg mengatakan berada di Borobudur Magelang Jawa Tengah dan akan bertemu dengan sejumlah pihak untuk membahas Internet.org di Jakarta.
"Saya baru saja tiba di Indonesia dan naik ke atas Borobudur untuk melihat matahari terbit. Besok untuk Internet.org akan bertemu dengan para pengembang, operator mitra dan pemimpin pemerintah di Jakarta," tulis Zuckerberg pada Minggu pagi.
Internet.org merupakan aplikasi yang menyediakan akses bagi masyarakat di wilayah terpencil untuk mendapatkan layanan akses internet dasar.
"Kami percaya, konektivitas merupakan sebuah hak asasi manusia dan salah satu tantangan fundamental untuk generasi kita," kata Zuckerberg di India, seperti dikutip dari AFP.
Jokowi dan Mark Zuckerberg (sumber : FP: Joko Widodo)
 Di Indonesia akses internet baru dapat dinikmati 82 juta dari total jumlah penduduk sekitar 253,60 juta jiwa.
Dia membantah tuduhan bahwa dia menciptakan monopoli dalam mengakses konten online di negara berkembang, dengan mengatakan para operator seluler bebas memutuskan layanan mana yang akan mereka gunakan, dan tidak harus menyertakan Facebook.
Sebelum ke Indonesia, Zuckerberg mengunjungi India selama dua hari dan bertemu dengan Perdana Menteri Narendra Modi membahas mengenai penggunaan media sosial dan ingin membantu PM India untuk berhubungan dengan penduduk desa di negara itu.
Zuckerberg juga menyampaikan ketertarikannya bekerja sama dengan pemerintah di sektor kesehatan dan pendidikan.
Sumber : bbc.co.uk

No Bra Day, Apa Yang Mereka Lakukan?

No Bra Day atau Hari Tanpa Bra digunakan sebagai bentuk kepedulian pada penyakit kanker payudara. Solopos.com mengutip Wikipedia, Senin (13/10/2014), perusahaan farmasi terkemuka asal Inggris, Zeneca, menjadi penggagas progam the National Breast Cancer Awareness. Program ini mempromosikan penggunaan mammografi sebagai instrumen untuk menanggulangi kanker payudara.
Program ini berkembang dan menjadikan Oktober sebagai bulan peduli kanker payudara. Sebagian orang menyatakan kepedulian terhadap penderita kanker payudara dengan mengenakan baju pink atau pita pink. Salah satu yayasan yang peduli kanker payudara adalah Pink Ribbon.
Yayasan ini mempromosikan kepedulian terhadap kanker payudara melalui beberapa selebriti internasional, yakni Elizabeth Hurley dan Reese Whiterspoon sebagai dutanya.

Peringatan Hari Kanker Payudara Sedunia, Senin (13/10/2014) juga terjadi di Twitter. Netizen mengampanyekan hashtag #NoBraDay yang langsung jadi trending topic dunia.
Sejak muncul kali pertama Senin (13/10/2014) pagi, hashtag #NoBraDay terus melesat di jajaran teratas trending topic worldwide. Setidaknya setiap media ada puluhan pengguna Twitter yang berkicau memakai hashtag ini. Tanda pagar ini bahkan jauh mengungguli tanda pagar #KopdarPamitan milik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
 
Julia Perez #NoBraDay (Foto: Liputan6.com
Terkait dengan NoBraDay, Julia Perez pun mendukung `No Bra Day` atau Hari Tanpa Bra pada 13 Oktober. Hal itu terlihat, kala ia memposting foto dirinya tampak dari belakang yang tak memakai bra, di akun Instagramnya.
Tampak, Jupe --sapaan Julia Perez-- memandang keluar dari jendela bergorden. Pelantun Aku Rapopo ini tak malu menyangkutkan bra di pundaknya. Dari samping, gunung kembarnya mengintip.
Dalam Instagramnya Julia Perez hanya memberi judul #nobraday #womenhelp #cancerbreast #stopcancer #lovingeachother #womenpower #forbiddenactress.

Sumber : 
Liputan6.com dan Solopos.com via Kabar24.com

Sabtu, 11 Oktober 2014

Gay dan Lesbian Di Aceh Terancam Hukuman Cambuk 100 Kali

Salah satu rancangan aturan baru dalam hukum syariah di Provinsi Aceh melarang hubungan seksual sesama jenis. Ancaman hukuman untuk pelaku hubungan seksual yang biasa dilakukan kalangan gay dan lesbian adalah hukuman cambuk dengan rotan 100 kali.

Gambar Adalah Hiasan Semata
Dalam rancangan peraturan yang diterima kantor berita AFP itu, antara lain, berisi larangan hubungan seks anal antara pria dan menggosok-gosokkan anggota tubuh antar-perempuan untuk stimulasi. Pengaturan hukuman atas pelanggaran tersebut juga untuk pertama kalinya akan diberlakukan hukuman untuk warga non-Muslim.
Aceh telah menjalankan hukum syariah secara bertahap sejak 2001. Rancangan aturan baru tersebut menambah aturan syariah sebelumnya yang melarang konsumsi alkohol, judi, pertemanan antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah, serta memperlihatkan luapan kasih sayang secara fisik di luar pernikahan, seperti sentuhan dan ciuman.
Hukum cambuk di Aceh sering kali dilakukan dengan tongkat rotan panjang dan ditujukan untuk mempermalukan, bukan menyebabkan kesakitan. Aturan itu mengizinkan pembayaran denda berbentuk emas atau hukuman penjara sebagai pengganti hukuman cambuk.
Delapan pria pada Jumat dicambuk karena berjudi di Banda Aceh, ditonton oleh sekitar 1.000 orang. Beberapa di antara warga yang berkerumun merekam adegan tersebut dengan video dan bersorak-sorai.
Rancangan peraturan kali ini merupakan versi yang diperhalus dari aturan sebelumnya, yang memicu kemarahan masyarakat internasional ketika disahkan oleh parlemen Aceh pada 2009 karena mencakup hukuman rajam sampai mati sebagai hukuman atas perzinahan. Aturan tersebut kemudian dibatalkan oleh gubernur.
Ramli Sulaiman dari Partai Aceh, yang mengepalai komisi pembuat rancangan peraturan tersebut, mengatakan, mayoritas anggota parlemen tampak mendukung rancangan aturan tersebut yang kemungkinan disahkan paling cepat Senin.
"Kami telah mempelajari pemberlakuan syariah di negara-negara, seperti Arab Saudi, Brunei Darussalam, dan Jordania, untuk membuat rancangan ini dan kami senang dengan hasilnya," ujar dia.
Namun, Direktur Jenderal Otonomi Daerah di Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, sebelumnya bahwa pihaknya dapat membatalkan aturan tersebut jika melanggar hak asasi manusia.
Amnesty International telah mengekspresikan kekhawatiran atas aturan tersebut dan menyerukan pengakhiran hukuman cambuk di Aceh. Hal tersebut dinilai melanggar aturan internasional mengenai penyiksaan dan juga melanggar konstitusi Indonesia.

 Sumber: www.regional.Kompas.com

Pengamat : Ada Skenario Usik Perdamaian Aceh [Beritasatu.com]

Banda Aceh - Pengamat politik dan hukum dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam M Adli Abdullah menilai saat ini ada skenario pihak-pihak tertentu yang berkeinginan mengusik proses perdamaian yang sedang berjalan di Aceh.
"Saya melihat ada skenario dari pihak tertentu yang memainkan perannya untuk mengusik perdamaian di Aceh. Terkesan aktornya mirip seperti Aceh awal-awal Pemerintahan Irwandi-Nazar," kata dosen Fakultas Hukum Unsyiah itu di Banda Aceh, Sabtu (11/1).
Hal tersebut disampaikan menanggapi adanya kelompok bersenjata di kawasan pedalaman Kabupaten Aceh Timur dan pernyataan Forbes Aceh terkait isu pemekaran provinsi.
Ia berharap kepekaan aparat keamanan untuk segera menghentikan setiap gelagat kekerasan di Aceh. Dan berharap juga ada langkah-langkah politik sehingga Aceh tidak kembali tergiring ke situasi konflik.
"Apa pun alasannya, negara tidak boleh membiarkan adanya senjata api ilegal berada di tangan sipil. Tidak boleh dibiarkan, dan harus dikedepankan pendekatan hukum. Namun tidak juga mengenyampingkan pendekatan musyawarah agar mereka mau menyerahkan senjatanya," katanya.
M Adli menyebutkan Aceh itu ibarat "rumput kering" yang mudah disulut dan kemudian terbakar. "Karenanya saya melihat ada penggiringan agar konflik kembali terjadi di Aceh dan konsep konfliknya horizontal," katanya menambahkan.
Konflik horizontal terjadi karena modal sosial dan politik Aceh sedang degradasi. Menurutnya, konflik horizontal tersebut sangat bahaya, dan di Aceh jenis konflik itu pernah terjadi.
Apalagi, kata dia, munculnya kelompok sipil bersenjata itu bersamaan dengan gencar-gencarnya upaya Pemerintah Aceh mempromosikan potensi investasi untuk menarik minat investor di provinsi berpenduduk sekitar 5 juta jiwa tersebut.
Menurutnya, jika memang ada oknum masyarakat yang merasakan Pemerintah Provinsi Aceh tidak adil maka sebaiknya bisa disampaikan secara terbuka, termasuk melalui media massa karena ini adalah zaman domokrasi, bukan dengan kekerasan.
Apalagi, katanya, jika sampai mengusik ketenangan dan kenyamanan hidup orang banyak.
"Ini zaman demokrasi yang sudah sepatutnya kita tinggalkan cara-cara kekerasan. Sampaikan jika memang ada ketidak-adilan. Saya yakin Pemerintah Aceh di bawah kendali Gubernur Zaini Abdullah dan Wagub Muzakir Manaf, akan menyahuti semua aspirasi rakyat, terutama mantan kombatan GAM, karena mereka juga GAM," kata dia.
Di pihak lain, Adli juga mengimbau rakyat Aceh agar bersatu padu dan bahu membahu mengisi perdamaian ini dengan pembangunan guna mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran sehingga bisa terwujud Aceh bermartabat dan sejahtera.
"Bagaimana Aceh bisa membangun jika kita tidak bersatu, apalagi jika kondisi keamanan tidak kondusif. Investor tidak akan mau datang ke Aceh jika daerah ini masih ada teror dan intimidasi," ujarnya.
Ke depan, harapannya semua aktor politik ikut serta dalam memberi rasa nyaman bagi masyarakat Aceh dengan menjaga kata-katanya. Serta ikut memberi kontribusi positif dalam rangka konsolidasi massal masyarakat untuk bersatu guna mempercepat kesejahteraan rakyat.

sumber: www.beritasatu.com
 Pengamat politik dan hukum dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam M Adli Abdullah menilai saat ini ada skenario pihak-pihak tertentu yang berkeinginan mengusik proses perdamaian yang sedang berjalan di Aceh.
"Saya melihat ada skenario dari pihak tertentu yang memainkan perannya untuk mengusik perdamaian di Aceh. Terkesan aktornya mirip seperti Aceh awal-awal Pemerintahan Irwandi-Nazar," kata dosen Fakultas Hukum Unsyiah itu di Banda Aceh, Sabtu (11/1).
Hal tersebut disampaikan menanggapi adanya kelompok bersenjata di kawasan pedalaman Kabupaten Aceh Timur dan pernyataan Forbes Aceh terkait isu pemekaran provinsi.

(Baca: Mantan Kombatan GAM di Aceh Timur Akan Menghancurkan Pemerintahan Aceh)
Ia berharap kepekaan aparat keamanan untuk segera menghentikan setiap gelagat kekerasan di Aceh. Dan berharap juga ada langkah-langkah politik sehingga Aceh tidak kembali tergiring ke situasi konflik.
"Apa pun alasannya, negara tidak boleh membiarkan adanya senjata api ilegal berada di tangan sipil. Tidak boleh dibiarkan, dan harus dikedepankan pendekatan hukum. Namun tidak juga mengenyampingkan pendekatan musyawarah agar mereka mau menyerahkan senjatanya," katanya.
M Adli menyebutkan Aceh itu ibarat "rumput kering" yang mudah disulut dan kemudian terbakar. "Karenanya saya melihat ada penggiringan agar konflik kembali terjadi di Aceh dan konsep konfliknya horizontal," katanya menambahkan.
Konflik horizontal terjadi karena modal sosial dan politik Aceh sedang degradasi. Menurutnya, konflik horizontal tersebut sangat bahaya, dan di Aceh jenis konflik itu pernah terjadi.
Apalagi, kata dia, munculnya kelompok sipil bersenjata itu bersamaan dengan gencar-gencarnya upaya Pemerintah Aceh mempromosikan potensi investasi untuk menarik minat investor di provinsi berpenduduk sekitar 5 juta jiwa tersebut.
Menurutnya, jika memang ada oknum masyarakat yang merasakan Pemerintah Provinsi Aceh tidak adil maka sebaiknya bisa disampaikan secara terbuka, termasuk melalui media massa karena ini adalah zaman domokrasi, bukan dengan kekerasan.
Apalagi, katanya, jika sampai mengusik ketenangan dan kenyamanan hidup orang banyak.
"Ini zaman demokrasi yang sudah sepatutnya kita tinggalkan cara-cara kekerasan. Sampaikan jika memang ada ketidak-adilan. Saya yakin Pemerintah Aceh di bawah kendali Gubernur Zaini Abdullah dan Wagub Muzakir Manaf, akan menyahuti semua aspirasi rakyat, terutama mantan kombatan GAM, karena mereka juga GAM," kata dia.
Di pihak lain, Adli juga mengimbau rakyat Aceh agar bersatu padu dan bahu membahu mengisi perdamaian ini dengan pembangunan guna mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran sehingga bisa terwujud Aceh bermartabat dan sejahtera.
"Bagaimana Aceh bisa membangun jika kita tidak bersatu, apalagi jika kondisi keamanan tidak kondusif. Investor tidak akan mau datang ke Aceh jika daerah ini masih ada teror dan intimidasi," ujarnya.
Ke depan, harapannya semua aktor politik ikut serta dalam memberi rasa nyaman bagi masyarakat Aceh dengan menjaga kata-katanya. Serta ikut memberi kontribusi positif dalam rangka konsolidasi massal masyarakat untuk bersatu guna mempercepat kesejahteraan rakyat.
- See more at: http://www.acehxpress.com/2014/10/soal-eks-kombatan-di-aceh-timur.html#sthash.V1CCgp00.dpuf
 Pengamat politik dan hukum dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam M Adli Abdullah menilai saat ini ada skenario pihak-pihak tertentu yang berkeinginan mengusik proses perdamaian yang sedang berjalan di Aceh.
"Saya melihat ada skenario dari pihak tertentu yang memainkan perannya untuk mengusik perdamaian di Aceh. Terkesan aktornya mirip seperti Aceh awal-awal Pemerintahan Irwandi-Nazar," kata dosen Fakultas Hukum Unsyiah itu di Banda Aceh, Sabtu (11/1).
Hal tersebut disampaikan menanggapi adanya kelompok bersenjata di kawasan pedalaman Kabupaten Aceh Timur dan pernyataan Forbes Aceh terkait isu pemekaran provinsi.

(Baca: Mantan Kombatan GAM di Aceh Timur Akan Menghancurkan Pemerintahan Aceh)
Ia berharap kepekaan aparat keamanan untuk segera menghentikan setiap gelagat kekerasan di Aceh. Dan berharap juga ada langkah-langkah politik sehingga Aceh tidak kembali tergiring ke situasi konflik.
"Apa pun alasannya, negara tidak boleh membiarkan adanya senjata api ilegal berada di tangan sipil. Tidak boleh dibiarkan, dan harus dikedepankan pendekatan hukum. Namun tidak juga mengenyampingkan pendekatan musyawarah agar mereka mau menyerahkan senjatanya," katanya.
M Adli menyebutkan Aceh itu ibarat "rumput kering" yang mudah disulut dan kemudian terbakar. "Karenanya saya melihat ada penggiringan agar konflik kembali terjadi di Aceh dan konsep konfliknya horizontal," katanya menambahkan.
Konflik horizontal terjadi karena modal sosial dan politik Aceh sedang degradasi. Menurutnya, konflik horizontal tersebut sangat bahaya, dan di Aceh jenis konflik itu pernah terjadi.
Apalagi, kata dia, munculnya kelompok sipil bersenjata itu bersamaan dengan gencar-gencarnya upaya Pemerintah Aceh mempromosikan potensi investasi untuk menarik minat investor di provinsi berpenduduk sekitar 5 juta jiwa tersebut.
Menurutnya, jika memang ada oknum masyarakat yang merasakan Pemerintah Provinsi Aceh tidak adil maka sebaiknya bisa disampaikan secara terbuka, termasuk melalui media massa karena ini adalah zaman domokrasi, bukan dengan kekerasan.
Apalagi, katanya, jika sampai mengusik ketenangan dan kenyamanan hidup orang banyak.
"Ini zaman demokrasi yang sudah sepatutnya kita tinggalkan cara-cara kekerasan. Sampaikan jika memang ada ketidak-adilan. Saya yakin Pemerintah Aceh di bawah kendali Gubernur Zaini Abdullah dan Wagub Muzakir Manaf, akan menyahuti semua aspirasi rakyat, terutama mantan kombatan GAM, karena mereka juga GAM," kata dia.
Di pihak lain, Adli juga mengimbau rakyat Aceh agar bersatu padu dan bahu membahu mengisi perdamaian ini dengan pembangunan guna mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran sehingga bisa terwujud Aceh bermartabat dan sejahtera.
"Bagaimana Aceh bisa membangun jika kita tidak bersatu, apalagi jika kondisi keamanan tidak kondusif. Investor tidak akan mau datang ke Aceh jika daerah ini masih ada teror dan intimidasi," ujarnya.
Ke depan, harapannya semua aktor politik ikut serta dalam memberi rasa nyaman bagi masyarakat Aceh dengan menjaga kata-katanya. Serta ikut memberi kontribusi positif dalam rangka konsolidasi massal masyarakat untuk bersatu guna mempercepat kesejahteraan rakyat.
- See more at: http://www.acehxpress.com/2014/10/soal-eks-kombatan-di-aceh-timur.html#sthash.V1CCgp00.dpuf
 Pengamat politik dan hukum dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam M Adli Abdullah menilai saat ini ada skenario pihak-pihak tertentu yang berkeinginan mengusik proses perdamaian yang sedang berjalan di Aceh.
"Saya melihat ada skenario dari pihak tertentu yang memainkan perannya untuk mengusik perdamaian di Aceh. Terkesan aktornya mirip seperti Aceh awal-awal Pemerintahan Irwandi-Nazar," kata dosen Fakultas Hukum Unsyiah itu di Banda Aceh, Sabtu (11/1).
Hal tersebut disampaikan menanggapi adanya kelompok bersenjata di kawasan pedalaman Kabupaten Aceh Timur dan pernyataan Forbes Aceh terkait isu pemekaran provinsi.

(Baca: Mantan Kombatan GAM di Aceh Timur Akan Menghancurkan Pemerintahan Aceh)
Ia berharap kepekaan aparat keamanan untuk segera menghentikan setiap gelagat kekerasan di Aceh. Dan berharap juga ada langkah-langkah politik sehingga Aceh tidak kembali tergiring ke situasi konflik.
"Apa pun alasannya, negara tidak boleh membiarkan adanya senjata api ilegal berada di tangan sipil. Tidak boleh dibiarkan, dan harus dikedepankan pendekatan hukum. Namun tidak juga mengenyampingkan pendekatan musyawarah agar mereka mau menyerahkan senjatanya," katanya.
M Adli menyebutkan Aceh itu ibarat "rumput kering" yang mudah disulut dan kemudian terbakar. "Karenanya saya melihat ada penggiringan agar konflik kembali terjadi di Aceh dan konsep konfliknya horizontal," katanya menambahkan.
Konflik horizontal terjadi karena modal sosial dan politik Aceh sedang degradasi. Menurutnya, konflik horizontal tersebut sangat bahaya, dan di Aceh jenis konflik itu pernah terjadi.
Apalagi, kata dia, munculnya kelompok sipil bersenjata itu bersamaan dengan gencar-gencarnya upaya Pemerintah Aceh mempromosikan potensi investasi untuk menarik minat investor di provinsi berpenduduk sekitar 5 juta jiwa tersebut.
Menurutnya, jika memang ada oknum masyarakat yang merasakan Pemerintah Provinsi Aceh tidak adil maka sebaiknya bisa disampaikan secara terbuka, termasuk melalui media massa karena ini adalah zaman domokrasi, bukan dengan kekerasan.
Apalagi, katanya, jika sampai mengusik ketenangan dan kenyamanan hidup orang banyak.
"Ini zaman demokrasi yang sudah sepatutnya kita tinggalkan cara-cara kekerasan. Sampaikan jika memang ada ketidak-adilan. Saya yakin Pemerintah Aceh di bawah kendali Gubernur Zaini Abdullah dan Wagub Muzakir Manaf, akan menyahuti semua aspirasi rakyat, terutama mantan kombatan GAM, karena mereka juga GAM," kata dia.
Di pihak lain, Adli juga mengimbau rakyat Aceh agar bersatu padu dan bahu membahu mengisi perdamaian ini dengan pembangunan guna mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran sehingga bisa terwujud Aceh bermartabat dan sejahtera.
"Bagaimana Aceh bisa membangun jika kita tidak bersatu, apalagi jika kondisi keamanan tidak kondusif. Investor tidak akan mau datang ke Aceh jika daerah ini masih ada teror dan intimidasi," ujarnya.
Ke depan, harapannya semua aktor politik ikut serta dalam memberi rasa nyaman bagi masyarakat Aceh dengan menjaga kata-katanya. Serta ikut memberi kontribusi positif dalam rangka konsolidasi massal masyarakat untuk bersatu guna mempercepat kesejahteraan rakyat.
- See more at: http://www.acehxpress.com/2014/10/soal-eks-kombatan-di-aceh-timur.html#sthash.V1CCgp00.dpuf

Antara Aceh dan Malaysia [Muda Bentara]

Beberapa waktu yang lalu, ketika mengakiri acara yang ia pandu di TVRI, Slamet Rahardjo Djarot, pemeran Teuku Umar di film Cut Nyak Dhien yang diproduksi 25 tahun yang lalu ini menutup acaranya dengan sebuah closing statement nan begitu menyentuh.
“Ketika bulan lalu kami ke perbatasan Indonesia dan Malaysia di Kalimantan, orang-orang disana mengatakan kepada kami “Garuda di dadaku, Malaysia di perutku.”…….”
Closing statement dari Slamet ini membuat semua yang menyaksikan tayangan “Malam Minggu Bersama Slamet Rahardjo” ini seakan terbuka pikirannya akan kenyataan yang terjadi di wilayah perbatasan indonesia di Kalimantan.
Dua hari yang lalu, sebuah program berita feature Metro TV menguatkan pernyataan closing statement Slamet. Di tayangan itu, tim Metro mewartakan visualisasi kehidupan masyarakat di perbatasan Kalimantan dan negeri Sabah Malaysia.
Di tayangan itu ditampilkan kenyataan akan kehidupan yang kontras antara perbatasan Malaysia dan Indonesia. Sebahagian anak-anak Indonesia yang ada di perbatasan lebih memilih bersekolah di sekolah Malaysia, dengan fasilitas pendidikan yang bagus dan serba gratis, mereka menghabiskan hari-hari dalam proses tumbuh kembang mereka di sekolah negeri jiran yang fasilitasnya sangat berkecukupan.
Bahkan negeri jiran ini juga memberikan jaminan untuk memberikan beasiswa hingga perguruan tinggi bagi anak-anak Indonesia yang berprestasi, asalkan anak yang bersangkutan nantinya mau menjadi warga negara Malaysia.
Ironi lain terlihat dari kehidupan anak-anak Indonesia di perbatasan yang tak memilih bersekolah di sekolah Malaysia yang serba lengkap fasilitasnya. Anak-anak Indonesia yang memilih bersekolah di sekolah dasar Indonesia menghadapi kenyataan yang memilukan.
Mereka harus menempuh perjalanan saban harinya sejauh 10 kilometer dengan berjalan kaki untuk
Bisa tiba di sekolah. Dan setiba di sekolah, mereka dihadapkan akan kenyataan jika sekolah mereka begitu memprihatinkan, minim fasilitas dan sering guru-guru yang ditugaskan disana tak datang untuk mengajar.
Ketika guru-guru yang ditunggu tak datang, anak-anak itu dengan wajah yang mereka paksa untuk ceria akan kembali memilih untuk pulang kembali ke rumah, menempuh perjalanan berkilo-kilo meter dengan berjalan kaki.
Itu ironi di perbatasan Indonesia dan Malaysia di wilayah Kalimantan, perbatasan yang menghadirkan Malaysia bak surga, dan Indonesia hanya oase fatamorgana.
Tentu kisah fatamorgana akan Indonesia itu tak hanya ada di perbatasan Kalimantan, tapi juga di wilayah penghujung Indonesia yang lain.
***
Kini saya sedang di kampung. Kampung saya adalah sebuah kampung yang berada di pesisir Labuhan Haji, Aceh Selatan. Di sepanjang pantainya terbentang luas samudera Hindia.
Di depan rumah kami di kampung, kami bertetangga dengan sepasang suami istri dengan tiga orang anak.
Nama sang suami adalah Hairul.
Dalam beberapa hari ini Hairul terlihat begitu sibuk. Ia harus segera mempersiapkan perjalanannya. Dua minggu sebelumnya ia sudah menyetorkan uang sebanyak 2,1 juta Rupiah kepada seorang Tekong (agen perjalanan). Dua hari yang lalu ia telah menyelesaikan pembuatan paspor di kantor Imigrasi Meulaboh, sebab di Aceh Selatan, tak ada kantor perwakilan Imigrasi.
Dengan bermodal paspor dan uang setoran sebanyak 2,1 juta itu, dalam beberapa hari lagi Hairul akan berangkat menuju Belawan atau Tanjung Balai dan setelah itu melanjutkan perjalanan ke Malaysia.
Uang sebanyak 2,1 juta yang ia setorkan ke Tekong itu adalah uang jasa paket perjalanan ke Malaysia, sudah mencakup biaya pembuatan paspor, biaya akomodasi transportasi darat dari kampung ke Medan dan biaya tiket kapal laut ke Malaysia, juga jasa pengurusan keberangkatan oleh Tekong.
Hairul yang berumur 40-an tahun memilih untuk kembali lagi ke Malaysia setelah 15 tahun kepulangannya sejak pertama kali menginjakkan kaki di negeri jiran itu. Hairul memilih kembali karena tekanan ekonomi. Dahulu ketika kepergiannya pertama kali, uang yang ia bawa pulang sanggup membiayai hidupnya, membeli mahar untuk meminang kekasih hatinya, membiayai pernikahan, dan membangun tempat usaha.
Tapi, ditengah kesulitan mencari penghasilan di negara ini, usaha Hairul terpaksa tutup, sehingga ia mengalihkan profesinya menjadi petani sekaligus nelayan. Saban musim tanam, Hairul bersama istrinya sejak pagi hari sudah turun ke sawah, dan sore harinya ia akan pergi melaut di kapal motor kecil yang mempekerjakannya. Ia baru pulang tengah malam atau pagi hari setelah melaut sejak sore hari.
Hairul membutuhkan uang untuk membiayai tiga anaknya yang sudah mulai besar.
Lain halnya dengan Hairul. Ilyas, lelaki paruh baya yang berprofesi sebagai nelayan (pawang pukat), sejak dua bulan yang lalu ia sudah berada di Malaysia. Di Malaysia, keberadaan Ilyas tak sama seperti tujuan keberadaan Hairul disana. Ilyas disana sebagai pelancong. Ia senang berada disana. Saking seringnya ia bolak balik ke Malaysia, blanko paspornya sudah terisi penuh oleh cap petugas imigrasi, sehingga ia terpaksa harus memperbaharuinya sebelum keberangkatannya dua bulan yang lalu.
Di Malaysia, Ilyas menjadi pelancong sejati, disana tiga orang anaknya menetap. Anaknya yang pertama sudah menjadi kontraktor besar disana dan memiliki puluhan anak buah. Anak keduanya sudah dipercaya mengelola proyek-proyek berukuran sedang oleh toke Cina, dan anaknya yang ketiga juga sudah mandiri. Ketiga anaknya kini sudah memiliki izin resmi bekerja disana, Malaysia.
Awalnya kedatangan anak Ilyas ke Malaysia juga karena kesulitan ekonomi. Anaknya yang kini menjadi kontraktor besar, hanya menempuh pendidikan hingga kelas 4 sekolah dasar, dan dulunya tak bisa membaca. Anak kaduanya hanya tamatan SMP dan anak ketiganya juga tamatan SMP.
Melihat tak adanya peluang usaha dan kesulitan ekonomi yang semakin membelit, sejak 15 tahun yang lalu anak tertuanya yang hanya menempuh pendidikan hingga kelas 4 SD itu merantau ke Malaysia. Merantau dengan cara yang benar-benar ilegal.
Jika Hairul merantau ke Malaysia dengan paspor bermotif sebagai pelancong, maka keberangkatan anak Ilyas ke Malaysia tak menggunakan paspor sama sekali. Sama seperti Hairul, ia juga menyewa jasa Tekong. Saat itu, keberangkatan ke Malaysia melalui jalur Dumai, Provinsi Riau.
Setibanya di Dumai, sudah ada jaringan para Tekong yang menunggu. Dari Dumai, mereka akan menggunakan boat kecil melayari selat Malaka ke Malaysia. Boat kecil itu dikenal dengan sebutan Pompong.
Ketika dalam pelayaran dari Dumai menuju semenanjung Malaysia, ringtangan awal dalam perjalanan ilegal ini di mulai. Jika tak pintar-pintar membaca keadaan, bisa-bisa mereka dijual ke mafia Thailand yang berkeliaran di selat Malaka. Selain itu, keberadaan patroli laut pasukan Diraja Malaysia juga menjadi ancaman tersendiri yang paling nyata. Jika tertangkan maka mereka akan berbulan-bulan dipenjara, dan bisa jadi akan dideportasi ke pulau Jawa.
Setelah menempuh perjalanan laut selama ber jam-jam, Pompong akan merapat di perairan Malaysia, jika merapat di dermaga terlalu riskan, maka para penumpang akan diturunkan di perairan pantai dan meneruskan perjalanan ke pantai Malaysia dengan berenang.
Biasanya di pantai telah menunggu relasi Tekong yang mereka gunakan jasanya, dan jika di pantai relasi para tekong tak ada, maka, dengan bermodalkan kantong mayat pemberian ABK pompong, agar tak terkena sengatan nyamuk dan terpaan hujan, mereka akan tidur di hutan-hutan pinggir pantai, sembari menunggu jemputan.
Ini era perjalanan ke Malaysia 15-20 tahun yang lalu, sebelum orang-orang berani membuat paspor untuk menginjakkan kaki di negeri jiran.
Lain halnya dengan Hairul dan anak Ilyas. Hasan, remaja berumur 15 tahun yang baru saja menamatkan sekolah SLTP nya memilih untuk tidak melanjutkan sekolah lagi, ia memutuskan untuk pergi ke Malaysia untuk mengadu peruntungan. Sebelumnya, empat orang abangnya sudah duluan beradu peruntungan disana.
10 tahun lalu, rumah orang tua Hasan bak gubuk. Lantainya beralaskan tanah, dindingnya dari anyaman pelepah rumbia dan atapnya juga dari daun rumbia. Salah seorang abangnya yang bernama Nasri, dikampung Nasri dikenal berotak cerdas. Tapi, kesulitan ekonomi memupuskan asa kecilnya, sehingga ia mengantungkan asa lain ke negara tetangga bernama Malaysia.
Hasan ingin ke Malaysia untuk menjemput mimpinya yang tak terbeli di negara bernama Indonesia, sama seperti yang dilakukan empat orang abangnya.
Negara yang bernama Malaysia itu mampu membuat lantai rumah orang tuanya yang awalnya hanya tanah kini berubah menjadi lantai keramik nan mengkilap. Mampu membuat rumah orang tuanya yang dahulunya adalah gubuk, kini menjadi rumah indah yang memiliki dua teras, yang didalam rumahnya berisi kendaraan berharga belasan juta dan peralatan elektronik nan lengkap.
Di kampung saya ini dan kampung-kampung lain yang ada di sekitarnya, bisa dikatakan 70% ekonominya berbasiskan uang pendapatan dari Malaysia. Di kampung saya, dari hampir 150-an KK, yang rumahnya dibangun bukan dari uang penghasilan para pekerja dan perantau di Malaysia hanya dua puluhan, sedangkan 100-an rumah lainnya, semuanya dibangun oleh uang hasil mimpi-mimpi yang diwujudkan oleh negara bernama Malaysia.
Kini, setiap kali pulang ke kampung, tiap ada rumah baru yang dibangun, atau kendaraan baru yang dibeli orang kampung, saya tak perlu berpikiran jauh, sebab bisa dipastikan itu semua adalah hasil dari jerih payah anak, suami atau ayah mereka yang bekerja di Malaysia. Malaysia yang berhasil membangun dan mewujudkan mimpi mereka.
Kini, di kampung, ibu-ibu disini bisa dikata tak tahu apa itu Jakarta, amat jarang melafalkan nama Indonesia. Dalam keseharian mereka, hari-hari mereka sudah diisi dengan sebutan nama Malaya, Malaysia, dan juga Kuala lumpur.
Indonesia tak pernah disebut karena yang menghidupi mereka bukan nama itu, yang membangun rumah mereka bukan uang dari nama itu, yang membeli sepatu sekolah anak mereka bukan uang pemberian nama itu.
Kini, di bulan Agustus yang dikata sebagai bulan kemerdekaan Indonesia ini, orang-orang kampung saya dengan terpaksa harus mengibarkan bendera merah putih sejak tanggal 1 Agustus.
Kata orang-orang kampung, dari pengumuman yang mereka dengar via pengeras suara masjid, bendera-bendera ini wajib dinaikkan di tiap-tiap rumah, jika tidak maka yang tidak memasangnya akan berususan dengan “kantor”.
Tahun lalu hal seperti ini juga terjadi. Indonesia hadir dalam bentuk masyarakat yang merasa takut kepada pihak keamanan jikalau tidak memasang bendera dua warna ini.
Tahun lalu, Aini, perempuan paruh baya terpaksa harus memotong celana dan baju SD anaknya untuk dijahit sebagai bendera. Aini takut jika nanti pihak keamanan datang menyisir rumah siapa saja yang tak memasang bendera. Sehingga ia menjahit bagian celana SD anaknya yang berwarna merah dan baju SD anaknya berwarna putih untuk dijadikan bendera demi menghilangkan rasa takut yang ia punya.
Aini tak perlu memikirkan perihal pakaian SD anaknya itu, sebab anaknya itu kini sudah berada di Malaysia, dan uang kiriman anaknya selama merantau disana kini sudah mampu membuatnya untuk bangga dengan memiliki rumah yang layak huni, rumah yang di Indonesia hanya hadir dalam bentuk mimpi.
Di kampung saya ini, semua lelaki berumur dibawah 50 tahun sudah mencicipi kenikmatan perwujudan mimpi mereka oleh Malaysia. Semuanya sudah pernah menginjakkan kaki disana dan membawa bukti betapa bangganya mereka dengan negara itu dibanding negara yang tertera di KTP mereka yang bernama Indonesia.
Ketika konflik masih berlangsung, semua orang kampung yang ada di Malaysia, tiap bulan memberikan sumbangan untuk perjuangan merealisasikan perwujudan agar lambang Buraq-Singa (lambang Aceh Merdeka) bisa menggantikan Garuda.
Seperti apa yang dikatakan oleh Slamet mengenai ucapan warga perbatasan di Kalimantan kepadanya. Jika di perbatasan Kalimantan orang-orang disana dengan bangga berkata “Garuda di Dadaku, Malaysia di perutku,” maka di kampung saya perkataan itu akan hadir dalam bentuk lain. Hadir dalam ucapan yang mungkin bagi indonesianis dianggap tak nasionalis.
Sebab dikampung saya ucapan itu akan berganti menjadi “Buraq-Singa di Dadaku, Malaysia di perutku.”
Dari Malaysia mereka membangun mimpi untuk mewujudkan Buraq-Singa, dari Malaysia mereka mampu mengisi ruang-ruang kosong akan laparnya perut anak-anak mereka yang tak mampu disembuhkan oleh Indonesia.
Hairul, Ilyas dan Hasan begitu tahu akan seperti apa makna sebenarnya dari “Buraq-Singa di Dadaku, Malaysia di perutku”. Sebab mereka adalah pelaku dalam kronik ironisnya kehidupan yang dihadirkan negara yang namanya tertera di KTP-KTP yang mereka punya.
Sekali lagi,
Buraq-Singa di Dadaku, Malaysia di Perutku.
***
Kampung, ditulis dengan ponsel untuk kemerdekaan Indonesia ke 68 tahun.

Judul Asli Buraq-Singa di Dadaku, Malaysia Diperutku Karya Muda Bentara


Bangsa Aceh Ramai Di Chowkit Kuala Lumpur

Sudahkah anda pergi jalan-jalan ke Malaysia dan singgah di Kuala Lumpur? Chowkit?. Nah.. kalo belum jangan heran ya kalo sampai disana anda berjumpa dengan orang-orang sebangsa dan setanah air kita. he.he... di Chow kit mestinya ramai sekali orang-orang Aceh yang bekerja disana bahkan tidak sedikit juga yang mempunyai kedai (toko) sendiri. Kok bisa..? ya bisalah.. dari beberapa kedai yang dimiliki orang Aceh di Chow kit mereka adalah pendatang era 90'an dahulu... jadi jangan heran.

Jln Tuanku Abdurrahman menuju ke Chow Kit (Source : wikimedia)
 Kebanyakan mereka sudah mempunyai IC bahkan MyKad, mereka sudah beranak pinak disitu. Bangsa Aceh yang tinggal di Chowkit mempunyai persatuan yang sangat kukuh. Hal ini dapat di lihat ketika adanya acara-acara seperti Maulid Nabi, Do'a bersama dan lain sebagainya. Ketika Maulid Nabi mereka merayakannya tidak cilet-cilet (tanggung-tanggung). Hal ini dapat dilihat dari segi makanan yang disediakan misalnya daging lembu, lembu yang dipotong bisa mencapai 16 ekor bahkan hingga 22 ekor. Lalu pertanyaannya di mana mereka memperoleh uang untuk membuat acara sebesar itu?. Jawabannya mudah sekali troen-troen peng.  he.he...
Para panitia akan mengadakan rapat sebelum acara akan di adakan, mereka akan menentukan jumlah sumbangan yang harus di capai untuk membuat acara tersebut. Sumbangan bisa saja dari tauke-tauke  maupun orang Aceh yang berada di sekitar KL bahkan luar KL.

 Koran Malaysia Harian Metro dan juga Kosmo  pernah memuat berita tentang keberadaan Bangsa Aceh yang bebas berjualan/ berniaga di Chow kit, dari Berita-berita yang di siarkan ada juga yang memprovokasi. Padahal mereka tidak tahu yang DBKL (Dewan Bandaraya Kuala Lumpur) lah yang meluluskan mereka berniaga. Kenapa diluluskan? jawabannya karena mereka juga sudah menjadi Warga Negara Malaysia ataupun Permastautin Tetap.

 Pasar Chow Kit terletak di ujung utara Jalan Tunku Abdul Rahman Tapi, para pedagang asal Aceh kebanyakan berjualan di sepanjang jalan Raja Alang yang bersisian dengan Safuan Plaza. Atau, apabila kita turun di Stasiun Kereta Api Monorail, lalu menyeberangi jalan, dan belok kiri langsung tiba di pasar Chow Kit.

Di sepanjang kiri-kanan jalan Raja Alang, di kawasan Chow Kit, banyak pedagang Aceh berjualan. Di kawasan ini, atau tepatnya di depan Safuan Plaza, terlihat kios buah-buahan berjejer serta warung nasi dan mie Aceh, yang banyak dicari oleh masyarakat Aceh sendiri maupun orang Melayu.

Sementara itu kedai-kedai runcit (kelontong) berada teratur setelahnya, begitupun kios-kios jamu yang juga milik masyarakat Aceh ini berjejer dengan rapi. Mudah saja kita mengenal para pedagang Aceh, sebab semua mereka menggunakan bahasa Aceh dalam bertutur, persis seperti Pasar Aceh di Aceh, kecuali ada pembeli orang Melayu.

Memang pedagang Aceh di Malaysia sebenarnya tidak hanya di Chow Kit ini saja, banyak yang lainnya menyebar di wilayah lain, seperti di Puchong, Sungai Tangkas, Kajang, Bandar Tasik Selatan, Sungai Buloh tapi Chow Kit adalah sentralnya. Konon, menurut seorang pedagang di sana, jika bulan Maulid tiba, di kawasan Chow Kit ini kerap digelar Kenduri Maulid dengan menyembelih 12-15 ekor sapi.


Sumber : www.cibuka.com