Beberapa waktu yang lalu, ketika mengakiri acara yang ia pandu di
TVRI, Slamet Rahardjo Djarot, pemeran Teuku Umar di film Cut Nyak Dhien
yang diproduksi 25 tahun yang lalu ini menutup acaranya dengan sebuah
closing statement nan begitu menyentuh.
“Ketika bulan lalu kami ke perbatasan Indonesia dan Malaysia di
Kalimantan, orang-orang disana mengatakan kepada kami “Garuda di dadaku,
Malaysia di perutku.”…….”
Closing statement dari Slamet ini membuat semua yang menyaksikan
tayangan “Malam Minggu Bersama Slamet Rahardjo” ini seakan terbuka
pikirannya akan kenyataan yang terjadi di wilayah perbatasan indonesia
di Kalimantan.
Dua hari yang lalu, sebuah program berita feature Metro TV menguatkan
pernyataan closing statement Slamet. Di tayangan itu, tim Metro
mewartakan visualisasi kehidupan masyarakat di perbatasan Kalimantan dan
negeri Sabah Malaysia.
Di tayangan itu ditampilkan kenyataan akan kehidupan yang kontras
antara perbatasan Malaysia dan Indonesia. Sebahagian anak-anak Indonesia
yang ada di perbatasan lebih memilih bersekolah di sekolah Malaysia,
dengan fasilitas pendidikan yang bagus dan serba gratis, mereka
menghabiskan hari-hari dalam proses tumbuh kembang mereka di sekolah
negeri jiran yang fasilitasnya sangat berkecukupan.
Bahkan negeri jiran ini juga memberikan jaminan untuk memberikan
beasiswa hingga perguruan tinggi bagi anak-anak Indonesia yang
berprestasi, asalkan anak yang bersangkutan nantinya mau menjadi warga
negara Malaysia.
Ironi lain terlihat dari kehidupan anak-anak Indonesia di perbatasan
yang tak memilih bersekolah di sekolah Malaysia yang serba lengkap
fasilitasnya. Anak-anak Indonesia yang memilih bersekolah di sekolah
dasar Indonesia menghadapi kenyataan yang memilukan.
Mereka harus menempuh perjalanan saban harinya sejauh 10 kilometer dengan berjalan kaki untuk
Bisa tiba di sekolah. Dan setiba di sekolah, mereka dihadapkan akan kenyataan jika sekolah mereka begitu memprihatinkan, minim fasilitas dan sering guru-guru yang ditugaskan disana tak datang untuk mengajar.
Bisa tiba di sekolah. Dan setiba di sekolah, mereka dihadapkan akan kenyataan jika sekolah mereka begitu memprihatinkan, minim fasilitas dan sering guru-guru yang ditugaskan disana tak datang untuk mengajar.
Ketika guru-guru yang ditunggu tak datang, anak-anak itu dengan wajah
yang mereka paksa untuk ceria akan kembali memilih untuk pulang kembali
ke rumah, menempuh perjalanan berkilo-kilo meter dengan berjalan kaki.
Itu ironi di perbatasan Indonesia dan Malaysia di wilayah Kalimantan,
perbatasan yang menghadirkan Malaysia bak surga, dan Indonesia hanya
oase fatamorgana.
Tentu kisah fatamorgana akan Indonesia itu tak hanya ada di
perbatasan Kalimantan, tapi juga di wilayah penghujung Indonesia yang
lain.
***
Kini saya sedang di kampung. Kampung saya adalah sebuah kampung yang berada di pesisir Labuhan Haji, Aceh Selatan. Di sepanjang pantainya terbentang luas samudera Hindia.
Kini saya sedang di kampung. Kampung saya adalah sebuah kampung yang berada di pesisir Labuhan Haji, Aceh Selatan. Di sepanjang pantainya terbentang luas samudera Hindia.
Di depan rumah kami di kampung, kami bertetangga dengan sepasang suami istri dengan tiga orang anak.
Nama sang suami adalah Hairul.
Nama sang suami adalah Hairul.
Dalam beberapa hari ini Hairul terlihat begitu sibuk. Ia harus segera
mempersiapkan perjalanannya. Dua minggu sebelumnya ia sudah menyetorkan
uang sebanyak 2,1 juta Rupiah kepada seorang Tekong (agen perjalanan).
Dua hari yang lalu ia telah menyelesaikan pembuatan paspor di kantor
Imigrasi Meulaboh, sebab di Aceh Selatan, tak ada kantor perwakilan
Imigrasi.
Dengan bermodal paspor dan uang setoran sebanyak 2,1 juta itu, dalam
beberapa hari lagi Hairul akan berangkat menuju Belawan atau Tanjung
Balai dan setelah itu melanjutkan perjalanan ke Malaysia.
Uang sebanyak 2,1 juta yang ia setorkan ke Tekong itu adalah uang
jasa paket perjalanan ke Malaysia, sudah mencakup biaya pembuatan
paspor, biaya akomodasi transportasi darat dari kampung ke Medan dan
biaya tiket kapal laut ke Malaysia, juga jasa pengurusan keberangkatan
oleh Tekong.
Hairul yang berumur 40-an tahun memilih untuk kembali lagi ke
Malaysia setelah 15 tahun kepulangannya sejak pertama kali menginjakkan
kaki di negeri jiran itu. Hairul memilih kembali karena tekanan ekonomi.
Dahulu ketika kepergiannya pertama kali, uang yang ia bawa pulang
sanggup membiayai hidupnya, membeli mahar untuk meminang kekasih
hatinya, membiayai pernikahan, dan membangun tempat usaha.
Tapi, ditengah kesulitan mencari penghasilan di negara ini, usaha
Hairul terpaksa tutup, sehingga ia mengalihkan profesinya menjadi petani
sekaligus nelayan. Saban musim tanam, Hairul bersama istrinya sejak
pagi hari sudah turun ke sawah, dan sore harinya ia akan pergi melaut di
kapal motor kecil yang mempekerjakannya. Ia baru pulang tengah malam
atau pagi hari setelah melaut sejak sore hari.
Hairul membutuhkan uang untuk membiayai tiga anaknya yang sudah mulai besar.
Lain halnya dengan Hairul. Ilyas, lelaki paruh baya yang berprofesi
sebagai nelayan (pawang pukat), sejak dua bulan yang lalu ia sudah
berada di Malaysia. Di Malaysia, keberadaan Ilyas tak sama seperti
tujuan keberadaan Hairul disana. Ilyas disana sebagai pelancong. Ia
senang berada disana. Saking seringnya ia bolak balik ke Malaysia,
blanko paspornya sudah terisi penuh oleh cap petugas imigrasi, sehingga
ia terpaksa harus memperbaharuinya sebelum keberangkatannya dua bulan
yang lalu.
Di Malaysia, Ilyas menjadi pelancong sejati, disana tiga orang
anaknya menetap. Anaknya yang pertama sudah menjadi kontraktor besar
disana dan memiliki puluhan anak buah. Anak keduanya sudah dipercaya
mengelola proyek-proyek berukuran sedang oleh toke Cina, dan anaknya
yang ketiga juga sudah mandiri. Ketiga anaknya kini sudah memiliki izin
resmi bekerja disana, Malaysia.
Awalnya kedatangan anak Ilyas ke Malaysia juga karena kesulitan
ekonomi. Anaknya yang kini menjadi kontraktor besar, hanya menempuh
pendidikan hingga kelas 4 sekolah dasar, dan dulunya tak bisa membaca.
Anak kaduanya hanya tamatan SMP dan anak ketiganya juga tamatan SMP.
Melihat tak adanya peluang usaha dan kesulitan ekonomi yang semakin
membelit, sejak 15 tahun yang lalu anak tertuanya yang hanya menempuh
pendidikan hingga kelas 4 SD itu merantau ke Malaysia. Merantau dengan
cara yang benar-benar ilegal.
Jika Hairul merantau ke Malaysia dengan paspor bermotif sebagai
pelancong, maka keberangkatan anak Ilyas ke Malaysia tak menggunakan
paspor sama sekali. Sama seperti Hairul, ia juga menyewa jasa Tekong.
Saat itu, keberangkatan ke Malaysia melalui jalur Dumai, Provinsi Riau.
Setibanya di Dumai, sudah ada jaringan para Tekong yang menunggu.
Dari Dumai, mereka akan menggunakan boat kecil melayari selat Malaka ke
Malaysia. Boat kecil itu dikenal dengan sebutan Pompong.
Ketika dalam pelayaran dari Dumai menuju semenanjung Malaysia,
ringtangan awal dalam perjalanan ilegal ini di mulai. Jika tak
pintar-pintar membaca keadaan, bisa-bisa mereka dijual ke mafia Thailand
yang berkeliaran di selat Malaka. Selain itu, keberadaan patroli laut
pasukan Diraja Malaysia juga menjadi ancaman tersendiri yang paling
nyata. Jika tertangkan maka mereka akan berbulan-bulan dipenjara, dan
bisa jadi akan dideportasi ke pulau Jawa.
Setelah menempuh perjalanan laut selama ber jam-jam, Pompong akan
merapat di perairan Malaysia, jika merapat di dermaga terlalu riskan,
maka para penumpang akan diturunkan di perairan pantai dan meneruskan
perjalanan ke pantai Malaysia dengan berenang.
Biasanya di pantai telah menunggu relasi Tekong yang mereka gunakan
jasanya, dan jika di pantai relasi para tekong tak ada, maka, dengan
bermodalkan kantong mayat pemberian ABK pompong, agar tak terkena
sengatan nyamuk dan terpaan hujan, mereka akan tidur di hutan-hutan
pinggir pantai, sembari menunggu jemputan.
Ini era perjalanan ke Malaysia 15-20 tahun yang lalu, sebelum
orang-orang berani membuat paspor untuk menginjakkan kaki di negeri
jiran.
Lain halnya dengan Hairul dan anak Ilyas. Hasan, remaja berumur 15
tahun yang baru saja menamatkan sekolah SLTP nya memilih untuk tidak
melanjutkan sekolah lagi, ia memutuskan untuk pergi ke Malaysia untuk
mengadu peruntungan. Sebelumnya, empat orang abangnya sudah duluan
beradu peruntungan disana.
10 tahun lalu, rumah orang tua Hasan bak gubuk. Lantainya beralaskan
tanah, dindingnya dari anyaman pelepah rumbia dan atapnya juga dari daun
rumbia. Salah seorang abangnya yang bernama Nasri, dikampung Nasri
dikenal berotak cerdas. Tapi, kesulitan ekonomi memupuskan asa kecilnya,
sehingga ia mengantungkan asa lain ke negara tetangga bernama Malaysia.
Hasan ingin ke Malaysia untuk menjemput mimpinya yang tak terbeli di
negara bernama Indonesia, sama seperti yang dilakukan empat orang
abangnya.
Negara yang bernama Malaysia itu mampu membuat lantai rumah orang
tuanya yang awalnya hanya tanah kini berubah menjadi lantai keramik nan
mengkilap. Mampu membuat rumah orang tuanya yang dahulunya adalah gubuk,
kini menjadi rumah indah yang memiliki dua teras, yang didalam rumahnya
berisi kendaraan berharga belasan juta dan peralatan elektronik nan
lengkap.
Di kampung saya ini dan kampung-kampung lain yang ada di sekitarnya,
bisa dikatakan 70% ekonominya berbasiskan uang pendapatan dari Malaysia.
Di kampung saya, dari hampir 150-an KK, yang rumahnya dibangun bukan
dari uang penghasilan para pekerja dan perantau di Malaysia hanya dua
puluhan, sedangkan 100-an rumah lainnya, semuanya dibangun oleh uang
hasil mimpi-mimpi yang diwujudkan oleh negara bernama Malaysia.
Kini, setiap kali pulang ke kampung, tiap ada rumah baru yang
dibangun, atau kendaraan baru yang dibeli orang kampung, saya tak perlu
berpikiran jauh, sebab bisa dipastikan itu semua adalah hasil dari jerih
payah anak, suami atau ayah mereka yang bekerja di Malaysia. Malaysia
yang berhasil membangun dan mewujudkan mimpi mereka.
Kini, di kampung, ibu-ibu disini bisa dikata tak tahu apa itu
Jakarta, amat jarang melafalkan nama Indonesia. Dalam keseharian mereka,
hari-hari mereka sudah diisi dengan sebutan nama Malaya, Malaysia, dan
juga Kuala lumpur.
Indonesia tak pernah disebut karena yang menghidupi mereka bukan nama
itu, yang membangun rumah mereka bukan uang dari nama itu, yang membeli
sepatu sekolah anak mereka bukan uang pemberian nama itu.
Kini, di bulan Agustus yang dikata sebagai bulan kemerdekaan
Indonesia ini, orang-orang kampung saya dengan terpaksa harus
mengibarkan bendera merah putih sejak tanggal 1 Agustus.
Kata orang-orang kampung, dari pengumuman yang mereka dengar via
pengeras suara masjid, bendera-bendera ini wajib dinaikkan di tiap-tiap
rumah, jika tidak maka yang tidak memasangnya akan berususan dengan
“kantor”.
Tahun lalu hal seperti ini juga terjadi. Indonesia hadir dalam bentuk
masyarakat yang merasa takut kepada pihak keamanan jikalau tidak
memasang bendera dua warna ini.
Tahun lalu, Aini, perempuan paruh baya terpaksa harus memotong celana
dan baju SD anaknya untuk dijahit sebagai bendera. Aini takut jika
nanti pihak keamanan datang menyisir rumah siapa saja yang tak memasang
bendera. Sehingga ia menjahit bagian celana SD anaknya yang berwarna
merah dan baju SD anaknya berwarna putih untuk dijadikan bendera demi
menghilangkan rasa takut yang ia punya.
Aini tak perlu memikirkan perihal pakaian SD anaknya itu, sebab
anaknya itu kini sudah berada di Malaysia, dan uang kiriman anaknya
selama merantau disana kini sudah mampu membuatnya untuk bangga dengan
memiliki rumah yang layak huni, rumah yang di Indonesia hanya hadir
dalam bentuk mimpi.
Di kampung saya ini, semua lelaki berumur dibawah 50 tahun sudah
mencicipi kenikmatan perwujudan mimpi mereka oleh Malaysia. Semuanya
sudah pernah menginjakkan kaki disana dan membawa bukti betapa bangganya
mereka dengan negara itu dibanding negara yang tertera di KTP mereka
yang bernama Indonesia.
Ketika konflik masih berlangsung, semua orang kampung yang ada di
Malaysia, tiap bulan memberikan sumbangan untuk perjuangan
merealisasikan perwujudan agar lambang Buraq-Singa (lambang Aceh
Merdeka) bisa menggantikan Garuda.
Seperti apa yang dikatakan oleh Slamet mengenai ucapan warga
perbatasan di Kalimantan kepadanya. Jika di perbatasan Kalimantan
orang-orang disana dengan bangga berkata “Garuda di Dadaku, Malaysia di
perutku,” maka di kampung saya perkataan itu akan hadir dalam bentuk
lain. Hadir dalam ucapan yang mungkin bagi indonesianis dianggap tak
nasionalis.
Sebab dikampung saya ucapan itu akan berganti menjadi “Buraq-Singa di Dadaku, Malaysia di perutku.”
Dari Malaysia mereka membangun mimpi untuk mewujudkan Buraq-Singa,
dari Malaysia mereka mampu mengisi ruang-ruang kosong akan laparnya
perut anak-anak mereka yang tak mampu disembuhkan oleh Indonesia.
Hairul, Ilyas dan Hasan begitu tahu akan seperti apa makna sebenarnya
dari “Buraq-Singa di Dadaku, Malaysia di perutku”. Sebab mereka adalah
pelaku dalam kronik ironisnya kehidupan yang dihadirkan negara yang
namanya tertera di KTP-KTP yang mereka punya.
Sekali lagi,
Buraq-Singa di Dadaku, Malaysia di Perutku.
***
Kampung, ditulis dengan ponsel untuk kemerdekaan Indonesia ke 68 tahun.
Kampung, ditulis dengan ponsel untuk kemerdekaan Indonesia ke 68 tahun.
Judul Asli Buraq-Singa di Dadaku, Malaysia Diperutku Karya Muda Bentara
0 komentar:
Posting Komentar