Pages

Sabtu, 11 Oktober 2014

Antara Aceh dan Malaysia [Muda Bentara]

Beberapa waktu yang lalu, ketika mengakiri acara yang ia pandu di TVRI, Slamet Rahardjo Djarot, pemeran Teuku Umar di film Cut Nyak Dhien yang diproduksi 25 tahun yang lalu ini menutup acaranya dengan sebuah closing statement nan begitu menyentuh.
“Ketika bulan lalu kami ke perbatasan Indonesia dan Malaysia di Kalimantan, orang-orang disana mengatakan kepada kami “Garuda di dadaku, Malaysia di perutku.”…….”
Closing statement dari Slamet ini membuat semua yang menyaksikan tayangan “Malam Minggu Bersama Slamet Rahardjo” ini seakan terbuka pikirannya akan kenyataan yang terjadi di wilayah perbatasan indonesia di Kalimantan.
Dua hari yang lalu, sebuah program berita feature Metro TV menguatkan pernyataan closing statement Slamet. Di tayangan itu, tim Metro mewartakan visualisasi kehidupan masyarakat di perbatasan Kalimantan dan negeri Sabah Malaysia.
Di tayangan itu ditampilkan kenyataan akan kehidupan yang kontras antara perbatasan Malaysia dan Indonesia. Sebahagian anak-anak Indonesia yang ada di perbatasan lebih memilih bersekolah di sekolah Malaysia, dengan fasilitas pendidikan yang bagus dan serba gratis, mereka menghabiskan hari-hari dalam proses tumbuh kembang mereka di sekolah negeri jiran yang fasilitasnya sangat berkecukupan.
Bahkan negeri jiran ini juga memberikan jaminan untuk memberikan beasiswa hingga perguruan tinggi bagi anak-anak Indonesia yang berprestasi, asalkan anak yang bersangkutan nantinya mau menjadi warga negara Malaysia.
Ironi lain terlihat dari kehidupan anak-anak Indonesia di perbatasan yang tak memilih bersekolah di sekolah Malaysia yang serba lengkap fasilitasnya. Anak-anak Indonesia yang memilih bersekolah di sekolah dasar Indonesia menghadapi kenyataan yang memilukan.
Mereka harus menempuh perjalanan saban harinya sejauh 10 kilometer dengan berjalan kaki untuk
Bisa tiba di sekolah. Dan setiba di sekolah, mereka dihadapkan akan kenyataan jika sekolah mereka begitu memprihatinkan, minim fasilitas dan sering guru-guru yang ditugaskan disana tak datang untuk mengajar.
Ketika guru-guru yang ditunggu tak datang, anak-anak itu dengan wajah yang mereka paksa untuk ceria akan kembali memilih untuk pulang kembali ke rumah, menempuh perjalanan berkilo-kilo meter dengan berjalan kaki.
Itu ironi di perbatasan Indonesia dan Malaysia di wilayah Kalimantan, perbatasan yang menghadirkan Malaysia bak surga, dan Indonesia hanya oase fatamorgana.
Tentu kisah fatamorgana akan Indonesia itu tak hanya ada di perbatasan Kalimantan, tapi juga di wilayah penghujung Indonesia yang lain.
***
Kini saya sedang di kampung. Kampung saya adalah sebuah kampung yang berada di pesisir Labuhan Haji, Aceh Selatan. Di sepanjang pantainya terbentang luas samudera Hindia.
Di depan rumah kami di kampung, kami bertetangga dengan sepasang suami istri dengan tiga orang anak.
Nama sang suami adalah Hairul.
Dalam beberapa hari ini Hairul terlihat begitu sibuk. Ia harus segera mempersiapkan perjalanannya. Dua minggu sebelumnya ia sudah menyetorkan uang sebanyak 2,1 juta Rupiah kepada seorang Tekong (agen perjalanan). Dua hari yang lalu ia telah menyelesaikan pembuatan paspor di kantor Imigrasi Meulaboh, sebab di Aceh Selatan, tak ada kantor perwakilan Imigrasi.
Dengan bermodal paspor dan uang setoran sebanyak 2,1 juta itu, dalam beberapa hari lagi Hairul akan berangkat menuju Belawan atau Tanjung Balai dan setelah itu melanjutkan perjalanan ke Malaysia.
Uang sebanyak 2,1 juta yang ia setorkan ke Tekong itu adalah uang jasa paket perjalanan ke Malaysia, sudah mencakup biaya pembuatan paspor, biaya akomodasi transportasi darat dari kampung ke Medan dan biaya tiket kapal laut ke Malaysia, juga jasa pengurusan keberangkatan oleh Tekong.
Hairul yang berumur 40-an tahun memilih untuk kembali lagi ke Malaysia setelah 15 tahun kepulangannya sejak pertama kali menginjakkan kaki di negeri jiran itu. Hairul memilih kembali karena tekanan ekonomi. Dahulu ketika kepergiannya pertama kali, uang yang ia bawa pulang sanggup membiayai hidupnya, membeli mahar untuk meminang kekasih hatinya, membiayai pernikahan, dan membangun tempat usaha.
Tapi, ditengah kesulitan mencari penghasilan di negara ini, usaha Hairul terpaksa tutup, sehingga ia mengalihkan profesinya menjadi petani sekaligus nelayan. Saban musim tanam, Hairul bersama istrinya sejak pagi hari sudah turun ke sawah, dan sore harinya ia akan pergi melaut di kapal motor kecil yang mempekerjakannya. Ia baru pulang tengah malam atau pagi hari setelah melaut sejak sore hari.
Hairul membutuhkan uang untuk membiayai tiga anaknya yang sudah mulai besar.
Lain halnya dengan Hairul. Ilyas, lelaki paruh baya yang berprofesi sebagai nelayan (pawang pukat), sejak dua bulan yang lalu ia sudah berada di Malaysia. Di Malaysia, keberadaan Ilyas tak sama seperti tujuan keberadaan Hairul disana. Ilyas disana sebagai pelancong. Ia senang berada disana. Saking seringnya ia bolak balik ke Malaysia, blanko paspornya sudah terisi penuh oleh cap petugas imigrasi, sehingga ia terpaksa harus memperbaharuinya sebelum keberangkatannya dua bulan yang lalu.
Di Malaysia, Ilyas menjadi pelancong sejati, disana tiga orang anaknya menetap. Anaknya yang pertama sudah menjadi kontraktor besar disana dan memiliki puluhan anak buah. Anak keduanya sudah dipercaya mengelola proyek-proyek berukuran sedang oleh toke Cina, dan anaknya yang ketiga juga sudah mandiri. Ketiga anaknya kini sudah memiliki izin resmi bekerja disana, Malaysia.
Awalnya kedatangan anak Ilyas ke Malaysia juga karena kesulitan ekonomi. Anaknya yang kini menjadi kontraktor besar, hanya menempuh pendidikan hingga kelas 4 sekolah dasar, dan dulunya tak bisa membaca. Anak kaduanya hanya tamatan SMP dan anak ketiganya juga tamatan SMP.
Melihat tak adanya peluang usaha dan kesulitan ekonomi yang semakin membelit, sejak 15 tahun yang lalu anak tertuanya yang hanya menempuh pendidikan hingga kelas 4 SD itu merantau ke Malaysia. Merantau dengan cara yang benar-benar ilegal.
Jika Hairul merantau ke Malaysia dengan paspor bermotif sebagai pelancong, maka keberangkatan anak Ilyas ke Malaysia tak menggunakan paspor sama sekali. Sama seperti Hairul, ia juga menyewa jasa Tekong. Saat itu, keberangkatan ke Malaysia melalui jalur Dumai, Provinsi Riau.
Setibanya di Dumai, sudah ada jaringan para Tekong yang menunggu. Dari Dumai, mereka akan menggunakan boat kecil melayari selat Malaka ke Malaysia. Boat kecil itu dikenal dengan sebutan Pompong.
Ketika dalam pelayaran dari Dumai menuju semenanjung Malaysia, ringtangan awal dalam perjalanan ilegal ini di mulai. Jika tak pintar-pintar membaca keadaan, bisa-bisa mereka dijual ke mafia Thailand yang berkeliaran di selat Malaka. Selain itu, keberadaan patroli laut pasukan Diraja Malaysia juga menjadi ancaman tersendiri yang paling nyata. Jika tertangkan maka mereka akan berbulan-bulan dipenjara, dan bisa jadi akan dideportasi ke pulau Jawa.
Setelah menempuh perjalanan laut selama ber jam-jam, Pompong akan merapat di perairan Malaysia, jika merapat di dermaga terlalu riskan, maka para penumpang akan diturunkan di perairan pantai dan meneruskan perjalanan ke pantai Malaysia dengan berenang.
Biasanya di pantai telah menunggu relasi Tekong yang mereka gunakan jasanya, dan jika di pantai relasi para tekong tak ada, maka, dengan bermodalkan kantong mayat pemberian ABK pompong, agar tak terkena sengatan nyamuk dan terpaan hujan, mereka akan tidur di hutan-hutan pinggir pantai, sembari menunggu jemputan.
Ini era perjalanan ke Malaysia 15-20 tahun yang lalu, sebelum orang-orang berani membuat paspor untuk menginjakkan kaki di negeri jiran.
Lain halnya dengan Hairul dan anak Ilyas. Hasan, remaja berumur 15 tahun yang baru saja menamatkan sekolah SLTP nya memilih untuk tidak melanjutkan sekolah lagi, ia memutuskan untuk pergi ke Malaysia untuk mengadu peruntungan. Sebelumnya, empat orang abangnya sudah duluan beradu peruntungan disana.
10 tahun lalu, rumah orang tua Hasan bak gubuk. Lantainya beralaskan tanah, dindingnya dari anyaman pelepah rumbia dan atapnya juga dari daun rumbia. Salah seorang abangnya yang bernama Nasri, dikampung Nasri dikenal berotak cerdas. Tapi, kesulitan ekonomi memupuskan asa kecilnya, sehingga ia mengantungkan asa lain ke negara tetangga bernama Malaysia.
Hasan ingin ke Malaysia untuk menjemput mimpinya yang tak terbeli di negara bernama Indonesia, sama seperti yang dilakukan empat orang abangnya.
Negara yang bernama Malaysia itu mampu membuat lantai rumah orang tuanya yang awalnya hanya tanah kini berubah menjadi lantai keramik nan mengkilap. Mampu membuat rumah orang tuanya yang dahulunya adalah gubuk, kini menjadi rumah indah yang memiliki dua teras, yang didalam rumahnya berisi kendaraan berharga belasan juta dan peralatan elektronik nan lengkap.
Di kampung saya ini dan kampung-kampung lain yang ada di sekitarnya, bisa dikatakan 70% ekonominya berbasiskan uang pendapatan dari Malaysia. Di kampung saya, dari hampir 150-an KK, yang rumahnya dibangun bukan dari uang penghasilan para pekerja dan perantau di Malaysia hanya dua puluhan, sedangkan 100-an rumah lainnya, semuanya dibangun oleh uang hasil mimpi-mimpi yang diwujudkan oleh negara bernama Malaysia.
Kini, setiap kali pulang ke kampung, tiap ada rumah baru yang dibangun, atau kendaraan baru yang dibeli orang kampung, saya tak perlu berpikiran jauh, sebab bisa dipastikan itu semua adalah hasil dari jerih payah anak, suami atau ayah mereka yang bekerja di Malaysia. Malaysia yang berhasil membangun dan mewujudkan mimpi mereka.
Kini, di kampung, ibu-ibu disini bisa dikata tak tahu apa itu Jakarta, amat jarang melafalkan nama Indonesia. Dalam keseharian mereka, hari-hari mereka sudah diisi dengan sebutan nama Malaya, Malaysia, dan juga Kuala lumpur.
Indonesia tak pernah disebut karena yang menghidupi mereka bukan nama itu, yang membangun rumah mereka bukan uang dari nama itu, yang membeli sepatu sekolah anak mereka bukan uang pemberian nama itu.
Kini, di bulan Agustus yang dikata sebagai bulan kemerdekaan Indonesia ini, orang-orang kampung saya dengan terpaksa harus mengibarkan bendera merah putih sejak tanggal 1 Agustus.
Kata orang-orang kampung, dari pengumuman yang mereka dengar via pengeras suara masjid, bendera-bendera ini wajib dinaikkan di tiap-tiap rumah, jika tidak maka yang tidak memasangnya akan berususan dengan “kantor”.
Tahun lalu hal seperti ini juga terjadi. Indonesia hadir dalam bentuk masyarakat yang merasa takut kepada pihak keamanan jikalau tidak memasang bendera dua warna ini.
Tahun lalu, Aini, perempuan paruh baya terpaksa harus memotong celana dan baju SD anaknya untuk dijahit sebagai bendera. Aini takut jika nanti pihak keamanan datang menyisir rumah siapa saja yang tak memasang bendera. Sehingga ia menjahit bagian celana SD anaknya yang berwarna merah dan baju SD anaknya berwarna putih untuk dijadikan bendera demi menghilangkan rasa takut yang ia punya.
Aini tak perlu memikirkan perihal pakaian SD anaknya itu, sebab anaknya itu kini sudah berada di Malaysia, dan uang kiriman anaknya selama merantau disana kini sudah mampu membuatnya untuk bangga dengan memiliki rumah yang layak huni, rumah yang di Indonesia hanya hadir dalam bentuk mimpi.
Di kampung saya ini, semua lelaki berumur dibawah 50 tahun sudah mencicipi kenikmatan perwujudan mimpi mereka oleh Malaysia. Semuanya sudah pernah menginjakkan kaki disana dan membawa bukti betapa bangganya mereka dengan negara itu dibanding negara yang tertera di KTP mereka yang bernama Indonesia.
Ketika konflik masih berlangsung, semua orang kampung yang ada di Malaysia, tiap bulan memberikan sumbangan untuk perjuangan merealisasikan perwujudan agar lambang Buraq-Singa (lambang Aceh Merdeka) bisa menggantikan Garuda.
Seperti apa yang dikatakan oleh Slamet mengenai ucapan warga perbatasan di Kalimantan kepadanya. Jika di perbatasan Kalimantan orang-orang disana dengan bangga berkata “Garuda di Dadaku, Malaysia di perutku,” maka di kampung saya perkataan itu akan hadir dalam bentuk lain. Hadir dalam ucapan yang mungkin bagi indonesianis dianggap tak nasionalis.
Sebab dikampung saya ucapan itu akan berganti menjadi “Buraq-Singa di Dadaku, Malaysia di perutku.”
Dari Malaysia mereka membangun mimpi untuk mewujudkan Buraq-Singa, dari Malaysia mereka mampu mengisi ruang-ruang kosong akan laparnya perut anak-anak mereka yang tak mampu disembuhkan oleh Indonesia.
Hairul, Ilyas dan Hasan begitu tahu akan seperti apa makna sebenarnya dari “Buraq-Singa di Dadaku, Malaysia di perutku”. Sebab mereka adalah pelaku dalam kronik ironisnya kehidupan yang dihadirkan negara yang namanya tertera di KTP-KTP yang mereka punya.
Sekali lagi,
Buraq-Singa di Dadaku, Malaysia di Perutku.
***
Kampung, ditulis dengan ponsel untuk kemerdekaan Indonesia ke 68 tahun.

Judul Asli Buraq-Singa di Dadaku, Malaysia Diperutku Karya Muda Bentara


0 komentar:

Posting Komentar